Jumat, 01 April 2016

Kunjungan ke Museum Benteng Heritage

Kelompok kami memutuskan untuk mengunjungi Museum Benteng Heritage yang berada di daerah Pasar Lama, Tangerang. Kesan pertama yang ditimbulkan setelah melihat bagian depan museum itu adalah kaget, karena bagian depannya terdapat orang yang berjualan. Kami malah sempat salah jalan ketika mencari museum tersebut, beruntung museum tersebut sangat terkenal karena sudah lama dibangun, sehingga tidak ada yang tidak mengetahui museum tersebut.

Tiket masuk untuk mahasiswa adalah Rp. 20.000,- sedangkan untuk umum adalah Rp. 25.000,- disana kami dipandu oleh Kak Robby selama 45 menit, tapi kami tidak diperbolehkan mengambil gambar, merekam video, maupun merekam suara jika sudah berada di dalam museum. Pada ruangan depan juga terdapat lukisan yang menggambarkan situasi di sekitar museum pada tahun 50-an. Ini adalah tampak depan museum:







Sedangkan ini adalah bagian dalam dan meja administrasi:











Di awal, kami dijelaskan terlebih dahulu oleh Kak Robby mengenai sejarah Museum Benteng Heritage yang didirikan pada tanggal 11 November 2011 (serba sebelas) dan diresmikan pada pukul 20.11 WIB. Kenapa bukan jam 11.11? Karena pada jam tersebut banyak pedagang yang sedang berjualan di depan museum, jadinya susah untuk melakukan peresmian. Meskipun usia museumnya belum genap 5 tahun, namun bangunan yang digunakan ini diperkirakan dari abad ke 17, dan yang pertama kali menggunakannya adalah organisasi atau perkumpulan Tionghoa.

Di sana juga ada bagian asli bangunan tersebut yaitu connecting door yang berjumlah 2 buah. Fungsinya adalah penghubung antar ruangan. Tetapi pada abad ke 19, bangunan ini pernah dibeli oleh keluarga Loa, sehingga bangunannya dipisah menjadi 3, karena keluarga Loa mempunyai 3 orang anak dan setiap anak ini katanya harus punya rumah, jadi dipisahkan dengan tembok. Sayangnya, bagian museum yang sebelah kanan belum bisa bergabung dengan museum, karena masih ada yang menempati. Bangunan ini kemudian terus diperjualbelikan secara bebas karena keluarga Loa sudah pindah sampai kemudian Udaya Halim membeli 2 bagian rumah milik 2 keluarga yang berbeda (bukan keluarga Loa). Semenjak itu, dilakukanlah langkah restorasi, yaitu mengembalikan bentuk asli bangunannya seperti abad ke-17. Hal ini terlihat dari bentuk tembok yang tidak rata karena tidak terbuat dari semen, melainkan menggunakan kali pasir, batu bata merah, dan batu kapur. Lalu terlihat dari lantainya yang berupa lantai terakota, dimana lantai ini adalah lantai yang sangat mewah di Tiongkok yang tingginya 5 inci dan terbuat dari tanah liat yang dibakar di suhu yang mencapai 1000° C. Kemudian lantai yang dipakai sebagai koleksi museum yang masih menggunakan kayu jati asli pada abad ke-17 yang digabungkan dengan pasak. Fungsi pasak ini adalah mencegah aus dan rayap.

Setelah penjelasan dari pemandu, kami masuk ke museum. yang pertama kali ditunjukkan adalah prasasti dan Moon Gate. Beginilah kira-kira bentuk Moon Gate dari website http://www.bentengheritage.com/site/tentang-mbh/




Moon Gate ini bercorak batik Cirebon dan burung Phoenix yang diperkirakan dapat hidup 1400 tahun dan mati dengan cara membakar dirinya sendiri. Moon Gate berfungsi untuk wayang orang pada zaman dahulu. 

Kami dipersilahkan untuk naik ke lantai atas, namun sebelumnya kami wajib melepaskan sepatu dan membawanya dengan kantong plastik yang sudah disediakan. Hal ini agar lantai di ruangan atas tidak mudah rusak.

Kak Robby memutar video mengenai proses pembuatan kecap SH yang sangat terkenal di Tangerang, yang kemudian dijadikan suvenir museum. Kami juga ditunjukan tentang pintu zaman dahulu yang dikunci dengan 2 buah kayu. Bagian teras lantai atas terdapat patung Dewa Pendidikan yang dipercaya jika berdoa dan memberi angpao di sana dapat lulus ujian. Di sebelahnya ada plang dokter gigi yang dulu menempati bangunan ini. 

Masuk lagi ke dalam, kami melihat berbagai macam timbangan dan juga uang kepeng yang tengahnya bolong, karena dulu belum ada dompet, jadi logam-logam disatukan dengan benang dan diikat. Ruangan selanjutnya, kami dijelaskan mengenai sejarah kedatangan Cheng Ho ke Indonesia yang menyebarkan agama Islam. Di ruangan ini juga terdapat sepatu kecil yang dahulu diwajibkan bagi wanita kalangan atas. jadi pada saat mereka berusia 5-8 tahun, kakinya ditekuk dan diikat, fungsinya ada 3, diantaranya untuk kecantikan (kalau diikat, jalannya menjadi pelan-pelan sehingga dinilai anggun), agar wanita tidak belajar kungfu sehingga tidak bisa melawan laki-laki, dan agar tidak dapat melarikan diri dari perjodohan yang telah ditentukan.

Ada juga relief Kwan Kong yang melawan 5 desa untuk mencari 2 kakak iparnya. Tidak jauh dari situ ada meja abu dan 2 patung singa. Patung singa betina dilambangkan dengan singa yang sedang memegang anak, artinya mengurus kebutuhan rumah, sedangkan patung singa jantan dilambangkan dengan singa yang sedang memegang bola, yang artinya memegang urusan dunia. Di sebelahnya terdapat rak kaca yang berisi wayang potehi, di sampingnya ada baju petani zaman dahulu beserta topinya.

Beralih ke ruangan lain, ada meja permainan mahjong, kartu ceki, domino, dan catur Cina, katanya orang dulu bisa memainkannya sampai seminggu, saking asiknya. Di meja itu tersedia 3 buah laci, yaitu untuk menaruh makanan, minuman dan uang yang dipertaruhkan.

Kami juga menonton video tentang tata cara pernikahan tradisi Tionghoa dan ditunjukkan pakaian, tempat tidur dan toilet kecil. Juga ada bedug, yang sekarang dipakai di mesjid-mesjid karena dulunya Cheng Ho menggunakan bedug sebagai tanda waktu solat. Terakhir, di rak sebelahnya ada berbagai alat musik, seperti rebab, tehyan, dan tambur.

Berikut kira-kira denah Museum Benteng Heritage:





Tidak ada komentar:

Posting Komentar