Selasa, 07 Juni 2016

RESENSI FILM GIE



Sutradara  :Riri Riza
Produser  :Mira Lesmana
Penulis  :Riri Riza
Pemeran   : Nicholas Saputra, Wulan Guritno,Indra Birowo, Lukman Sardi, Sita Nursanti, Thomas Nawilis, Jonathan Mulia, Christian Audy, Donny Alamsyah, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Gino Korompis, Surya Saputra, Happy Salma
Distributor  :Sinemart Pictures
Durasi   :147 menit

Soe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Sejak tahun 1956 di masa SMP Soe Hok Gie sudah memiliki sifat yang berani untuk melawan tindakan semena-mena. Dia sudah tertarik dengan karya-karya sastra seperti karangan Mahatma Gandhi. Di tahun 1959, saat itu Soe Hok Gie masih mengenyam pendidikan di SMA Kolese Kanisius. Dia sudah terbiasa dengan membaca koran dan mendengar radio sehingga mengerti benar apa yang sedang terjadi di Indonesia, saat itu dia menyadari benar demokrasi yang sebenarnya bukan demokrasi “…kita seolah-olah merayakan demokrasi tapi memotong lidah-lidah orang yang mengemukakan pendapat mereka yang merugikan pemerintahan…”. Soe Hok Gie di masa SMA sudah sering menulis pendapatnya dan dipajang di mading sekolah. Dia percaya bahwa generasi muda bertugas untuk menghancurkan kekacauan yang sudah terjadi seperti korupsi.
Tahun 1963, Soe Hok Gie selalu menjadi pembicara di kalangan teman-temannya tentang politik di Indonesia, mengemukakan pendapatnya dengan tujuan menggerakkan generasi muda dalam memperjuangkan kebenaran di tengah kekacauan politik seperti kapitalisme yang saat itu merajalela di Indonesia. Karena pemikirannya, seorang ketua partai sosialis memintanya bergabung dalam kampanye. Pernah suatu kali Soe Hok Gie berkesempatan untuk menemui Soekarno. Menurutnya, Soekarno memiliki 3 gelar seperti raja-raja, seperti gelar politik, gelar militer dan gelar agama. Karena itu beliau bersikap seperti raja-raja terdahulu; beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton. Soekarno menentang nasionalis. Soe Hok Gie berpendapat bahwa lebih baik berkata tidak pada Soekarno
Di tengah gencarnya dia mengemukakan pendapatnya tentang politik beserta idealis pemikirannya, dia juga dekat dengan seorang wanita bernama Ira, wanita ini seringkali hadir dan mendengarkan ceramah Soe Hok Gie dengan seksama. Suatu ketika Soe Hok Gie bertemu kembali dengan teman lamanya, Han, yang mendukung gerakan komunis. Tetapi tidak bagi Soe Hok Gie, dia lebih memilih tidak terhadap semua partai karena menurutnya itu semua adalah permainan politik. Di UI saat itu sudah ada banyak partai dan golongan yang masuk kedalam universitas dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia). Tapi Soe Hok Gie berharap bahwa mahasiswa dapat memilih keputusan atas prinsip dewasa tanpa melibatkan agama, ras, ormas atau golongan manapun. “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor” begitulah ungkapannya terhadap pandangannya tentang politik.
1 Oktober 1965, keadaan politik di Indonesia semakin parah, situasi semakin berbahaya dengan munculnya berita penculikan Ahmad Yani. Saat itu, ada 2 organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia, yaitu anti komunis dan PKI, Soekarno lebih condong ke PKI demi politik keseimbangan.
Januari 1966, untuk menghancurkan gerakan anti-komunis, Soekarno menaikkan harga-harga sasarannya untuk membuat masyarakat khawatir dan lupa tujuannya untuk menumpas PKI. Mahasiswa UI saat itu  bergabung menjadi satu dengan tujuan menghancurkan PKI, tetapi Soe Hok Gie menilai harus ada keseimbangan ekonomi dan tidak boleh banyak menuntut, jika tidak akan terjadi ‘Chaos’.
Februari 1966, Soekarno menyatakan untuk tidak membubarkan PKI dan tidak menurunkan harga, sehingga puluhan mahasiswa kembali berdemo tetapi dihentikan oleh ABRI. Dimana organisasi anti-komunis juga bergerak yang salah satunya menangkap orang-orang yang berhubungan dengan PKI dan salah satu yang tertangkap adalah Han, teman Soe Hok Gie.
Di Bali terdapat peristiwa pembunuhan bagi mereka yang dianggap PKI, total korbannya adalah 80.000 jiwa. Walaupun situasi sudah genting tetap saja Soe Hok Gie menulis apa yang ada dipikirannya termasuk apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa Bali tersebut, sehingga banyak orang yang menjauhinya. “lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan” itulah kata-kata yang diucapkan di tengah orang-orang yang mulai mundur dalam perjuangan. Soe Hok Gie mulai diincar oleh orang-orang  yang tidak senang dengan pemikirannya. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969, Semeru-Jawa Timur, Indonesia.

Saran kepada pembaca adalah kita harus berani seperti Soe Hok Gie dan menentang dengan tegas apa yang menurut kita tidak patut dilakukan, bukan hanya duduk diam di tempat mengikuti alur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar